pariwisatasulut.com – Di tengah-tengah sumber daya alam yang berlimpah, Papua sampai sekarang ini tetap berusaha untuk keluar kemiskinan yang menjeratnya. Beragam usaha digalakkan untuk menggerakkan propinsi itu maju seperti pemberian Dana Otonomi Khusus. Tetapi, program itu sedikit membalikkan keadaan propinsi itu.
Semenjak 2001, pemerintahan pusat sudah mengirim Dana Otonomi Khusus (Otsus) untuk Papua. Catatan Institute for Development of Economics and Finance (INDEF), pemerintahan sudah menggulirkan dana sekitar Rp 138,65 triliun lewat pola itu sampai 2021 kemarin. Luapan dana dengan jumlah besar itu diharap sanggup percepat pembangunan, sesuai teori big push pada ekonomi.
Tetapi, INDEF memandang jika usaha itu belum sukses. Dana besar yang digulirkan pemerintahan pusat tidak berpengaruh krusial pada usaha lebih memajukan Papua.
“Dana Otsus di Papua belum sukses jadi big push. Ia cuma tingkatkan APBD, cuma tingkatkan PDRB perkapita yang krusial secara statistik,” kata Berly Martawardaya, Direktur Penelitian INDEF, dalam dialog dan diseminasi laporan penelitian: Sumpah Sumber Daya Alam di Tanah Papua, pada Senin (19/12).
INDEF bersama Greenpeace sudah lakukan riset dalam berkaitan peristiwa kekayaan sumber daya alam yang lebih besar di Papua, yang tidak sanggup menggerakkan kesejahteraan di daerah tersebut. Dalam ilmu ekonomi, keadaan itu seperti ironi yang dikenali sebagai sumpah sumber daya alam.
Secara simpel, istilah itu memiliki makna negara atau daerah yang memiliki sumber daya alam berlimpah, terutama yang tidak terbarukan seperti minyak dan tambang, condong memiliki kemajuan ekonomi lebih lamban.
Sepanjang implementasi dana Otsus, beberapa patokan seperti kemiskinan, kesehatan sampai pendidikan di Papua memang alami pembaruan, tapi perolehannya masihlah jauh di bawah perolehan propinsi lain.
“Semestinya, dengan uang yang sebegitu banyak, dapat semakin tinggi. Hingga ringkasannya, jika terjadi sumpah sumber daya alam di Papua pada bidang pendidikan, rimba, kesehatan, sanitasi dan angka keinginan hidup,” tutur Berly.
Secara statistik dan kuantitatif, lanjut Berly, sumpah sumber daya alam di Papua terjadi di luar masalah dana. Dalam angka, Penghasilan Lokal Regional Bruto (PDRB) dan Bujet dan Penghasilan Berbelanja Wilayah (APBD) memang bertambah. https://www.pariwisatasulut.com/
“Tapi efeknya dengan manusia ada tidak? Itu yang penting diganti di Otsus jilid dua, hingga efeknya berkaitan. Karena jika cuma uang, uangnya dari Otsus dapat berbeda. Dari tambang dapat habis. Tetapi untuk manusia, jika sudah dibuat, ia terus akan bawa faedah sepanjang satu angkatan ataupun lebih,” tutur Berly.
Kehilangan Rimba Alam
Salah satunya masalah berkenaan sumber daya alam di Papua ialah lenyapnya daerah rimba secara masif dalam dua dasawarsa paling akhir. Keadaan itu terang bikin rugi karena rimba di Papua termasuk ke tiga daerah di dunia dengan keadaan rimba yang lumayan baik di mana Papua bersama dengan Amazon dan Kongo.
“Penelitian Greenpeace, dalam dua dasawarsa paling akhir tanah Papua kehilangan 641 ribu hektar rimba alam, dan jika kita saksikan, deforestasi bertambah semenjak tahun 2012, pucuk kehilangan terluasnya pada tahun 2015,” kata Kiki Taufik, Kepala Kampanye Rimba Greenpeace Asia Tenggara, dalam dialog yang masih sama.
Kiki menjelaskan data riset dari Global Forest Watch, Universitas Maryland, Amerika Serikat, yang menulis jika tahun 2001-2020 propinsi Papua kehilangan 438 ribu hektar rimba. Lima kabupaten dengan deforestasi paling luas ialah Merauke, Boven Digul, Nabire, Mimika dan Mappi. ” Di Merauke terdaftar 92 ribu hektar, dan di Boven Digul 69 ribu hektar,” detailnya.
Sementara di propinsi Papua Barat, rimba alam yang lenyap selebar 203 ribu hektar, dengan 5 kabupaten paling tinggi ialah Fak-Fak, Teluk Bintuni, Sorong, Manokwari dan Kaimana.
Industri ekstraktif yang terakhir beralih ke Papua, dan pembangunan provinsi-provinsi baru jadi faktor yang memengaruhi deforestasi.
Kiki menerangkan jika sekarang terdapat empat tipe hal pemberian izin usaha yang berpengaruh besar pada deforestasi di Papua. Ke-4 usaha itu ialah pertambangan, Rimba Tanaman Industri (HTI), Hak Pemberdayaan Rimba (HPH) dan perkebunan kelapa sawit. Sekitar 20 % dari semua tanah Papua, sudah dibebani ijin atau konsesi dari 4 tipe konsesi itu, kata Kiki.
“Jika kita saksikan peta daerah pertambangan Papua, karena itu 80 % daerah tanah Papua itu sisi dari daerah usaha pertambangan. Maknanya, jika daerah Papua ini telah dipetakan, ada kekuatan, ia masuk ke daerah usaha pertambangan, walaupun itu masihlah jauh, tapi ini mempunyai potensi,” sambungnya.
Sekarang ini, ada 1,88 juta hektar perkebunan sawit di Papua, dengan perincian 1,tiga juta hektar ada di propinsi Papua dan 516 ribu hektar di Papua Barat. Perkebunan sawit paling besar pada dua propinsi itu ada di kabupaten Merauke, Boven Digul, Mappi, Teluk Bintuni dan Sorong.
Posisi Warga Adat
Memberi respon keadaan berkenaan sumpah sumber daya alam Papua, Antropolog dari Universitas Cenderawasih, Papua, Gerda Numberi mengatakan jika terdapat tiga faksi khusus yang sanggup bawa propinsi itu keluar jerat sumpah tersebut.
“Pertama, itu dari pemilik sumber daya alam tersebut, yakni warga Adat. Ke-2 , dari pemerintahan dalam masalah ini pemprov dan pusat. Ke-3 itu, ialah beberapa faksi ke-3 atau korporasi yang umumnya memakai, manfaatkan atau mengeksplorasi sumber daya alam yang berada di Papua dan Papua Barat,” katanya.
Tetapi sayang, ke-3 faksi itu, lanjut Gerda, memiliki ide pendayagunaan rimba dan sumber daya alam yang berbeda.
Opini seirama dikatakan Filep Wamafma, Anggota Dewan Perwakilan Wilayah (DPD) dari Papua. Dari 3 faksi itu, warga Adat Papua berprinsip jika alami mendukung, memberikan, dan membuat perlindungan kehidupan.
“Jika pemerintahan tidak. Jika investor tidak. Alam itu memberi modal yang lebih besar, kekayaan yang lebih besar untuk negara. Alam sediakan sumber penghasilan wilayah yang lebih tinggi, alam datangkan investasi yang lebih besar,” tutur Filep.
Keadaan itu selanjutnya mengakibatkan pertentangan di antara kebutuhan investor, warga dan pemerintahan. Sayang, lanjut Filep, pemerintahan lebih cenderung memberikan dukungan kebutuhan investasi.
Berpengaruh pada Separatisme
Ketidakserasian di antara pemerintahan dan warga membuat keadaan yang tidak aman yang bisa berpengaruh panjang. Periset Tubuh Penelitian dan Pengembangan Nasional (BRIN), Prof Cahyo Terakhir menjelaskan, kerusakan lingkungan akan membuat ketaknyamanan dalam masyarakat Adat Papua. Kerusakan tersebut disebabkan oleh pembangunan yang fokus pada kapitalisme, yang didorong dengan perusahan dan pemerintahan sendiri.
“Ini akan condong munculkan marjinalisasi dan distrust dari warga Adat Papua, dan pada akhirannya akan menggerakkan perselisihan pembagian diri atau perselisihan separatisme. Hingga di antara kerusakan lingkungan, human insecurity dan perselisihan separatis sama-sama berkaitan,” terang Cahyo.
Ia menambah, bila alam dan rimba Papua rusak, warga Adat jadi riskan. Keadaan ini mendatangkan hati tidak jadi sisi dari bangsa Indonesia.
“Dan mereka memiliki mimpi untuk kembali lagi ke rumah lama, rumah tua mereka, yakni teritori Melanesia, atau ingin memisah diri dari Indonesia,” jelasnya.